Me & Traditional Games

PERMAINAN TRADISIONAL: DIMANA KAU KINI…
oleh : Abdyjaya

Permainan apa yang digemari anak-anak saat ini? Pasti jawabannya bukan congklak, petak umpet, patok lele, engklek dan sebagainya. Akan sulit kita temui anak-anak sekarang yang memainkan permainan tradisional yang selalu dimainkan anak-anak kampung masa lalu. Kalaupun ada mungkin pada saat perayaan 17-an saja.

Di pedesaan tempat aku merantau juga tidak pernah kutemukan permainan tradisional semacam itu, satu-satunya yang masih bertahan adalah permainan gundu (ada juga yang menyebutnya kelereng. Pada waktu ku kecil, aku dan teman-teman menyebutnya guli) yang dimainkan anak-anak laki-laki. (belum pernah aku menyaksikan anak perempuan bermain gundu). Kalau anak perempuan pada umumnya lebih akrab bermain lompat tali dan masak-masakan.

Pada saat aku masih berseragam putih merah (senin sampai kamis, karena kalau jumat dan sabtu, seragamnya jadi coklat muda dan coklat tua) permainan seperti sodor, patok lele, samber elang, pecah piring, lompat tali, laying-layang, kelereng (dan masih banyak lagi) kerap kami mainkan. Namun anehnya, tingkat keseringan permainan itu selalu berganti setiap tahun. Naik kelas, bergantilah permainan yang digemari.


Kalau direview lagi permainan tradisional yang sempat saya cicipi sangat banyak dan beragam, barangkali itu permainan yang sama dan dimainkan anak-anak di daerah lain.

Permainan tradisional yang disebutkan tadi nyaris semuanya tidak ada yang mengeluarkan modal sedikitpun untuk memainkannya. Karena semua bahan-bahannya bisa diperoleh dari alam. Bahkan lewat alamlah kadang permainan itu bisa muncul.

Saya ingat sekali bagaimana saat itu kami bermain perang-perangan. Bahannya diambil dari pelepah-pelepah pohon pisang. Dipotong beberapa bagiannya untuk dibentuk seperti senjata laras panjang dan bisa dibunyikan, hanya saja  suara yang terdengar bukan suara “DORR!!!” Melainkan “PLEKK!!”

Main perang-perangan yang lebih canggih lagi. Bahannya dari kayu, diukir sedemikian rupa hingga menyerupai bentuk pistol. Di atas gagangnya dibuat landasan picu untuk korek api, layaknya sebuah peluru. Sedikit berbahaya memang jika korek yang sudah dipantik apinya, dilepas ke tempat yang mudah terbakar. Rambut teman saya pernah jadi korbannya.

Ketapel juga dibuat dengan memanfaatkan produk-produk alam, misalnya ranting pohon. Kalau dalam permainan, targetnya diletakkan pada tempat tertentu, siapa yang berhasil mengenainya, dia akan didaulat sebagai yang terhebat.

Busi sepeda motor juga kerap dijadikan alat bermain. Lubang pada busi diisi dengan bubuk korek api dan mengatupkannya dengan baut. Cara bermainnya dilemparkan ke target yang keras lalu akan mengeluarkan suara dentuman seperti mercon. Ah… aneh dan kreatif.

Begitulah permainan tradisional, ada sisi petualangan, tantangan, keberanian, kerjasama, kegembiraan dan sebagainya yang menjadikan anak-anak berkembang imajinasinya dan terpupuk kecerdasannya.

Belum lagi kalau kita bercerita tentang permainan tradisional yang dilengkapi dengan nyanyi-nyanyian, petikan syair di atas adalah contohnya, yang masih saya ingat sampai sekarang.

Ada banyak makna sebenarnya yang bisa digali lagi dari permainan tradisional dan terus terang saja saya rindu untuk memainkan permainan tradisional seperti pada masa kanak-kanak dulu yang lebih banyak manfaatnya dari pada mudharatnya.

Tulisan ini pun lahir akibat suntuknya saya yang sedang menderita demam playstation. Permainan modern yang memancing kecerdasan kinetis namun membuat jari-jari kapalan, menyita waktu tidur hingga alpa solat subuh, kena migrain dan masuk angin.

Saya memimpikan suatu saat teman-teman guru dan pendidik lainnya di jenjang pendidikan pra sekolah dan sekolah dasar, memunculkan kembali permainan-permainan tradisional dan mengenalkan kepada murid-muridnya, sehingga warisan leluhur yang kaya dengan kreativitas itu tidak punah begitu saja ditelan internet, play station dan game-game yang ada di computer dan handphone. Semoga.